HankamNasional

Melindungi Hak Warga Negara, Prof. Eddy Hiariej Tekankan Reformasi KUHAP

Avatar photo
×

Melindungi Hak Warga Negara, Prof. Eddy Hiariej Tekankan Reformasi KUHAP

Share this article

JAKARTA – Dalam webinar pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), Prof. Eddy O.S. Hiariej, pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menyoroti beberapa aspek penting terkait reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Kamis (23/1/2025)

Prof. Eddy O.S. Hiariej menegaskan bahwa filosofi utama hukum acara pidana harus berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia dan menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum (APH).

Filosofi dan Prinsip KUHAP Baru

Menurut Prof. Eddy, hukum acara pidana harus bersifat keresmian dengan pengaturan yang ketat. Ia menegaskan pentingnya tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi dalam KUHAP:

1. Tertulis, sehingga aturan hukum tidak multitafsir.
2. Jelas, agar tidak menimbulkan kebingungan dalam penerapan.
3. Tidak dapat diinterpretasikan selain dari yang tertulis, demi menghindari kerugian bagi pelapor, terlapor, saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana.

Ia juga menyoroti perlunya perubahan paradigma dari crime control model yang mengedepankan asas praduga bersalah, menuju due process model yang lebih melindungi hak asasi manusia.

Diferensiasi Fungsional dan Penguatan Peran Advokat

Prof. Eddy mendukung adanya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam hal ini:

1. Polisi berperan sebagai penyidik utama.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bertindak sebagai penyidik pendukung.
3. Jaksa berperan sebagai penuntut umum sekaligus eksekutor dalam penelusuran dan perampasan aset.

Ia juga menekankan pentingnya keberadaan advokat sejak tahap penyelidikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan pengawasan yang lebih baik dalam proses hukum. Penguatan peran advokat juga diperluas dalam konteks praperadilan guna melindungi kepentingan saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana.

Pentingnya Pengawasan Barang Bukti dan Putusan Pengadilan

Pengawasan terhadap perolehan barang bukti menjadi poin kritis yang disorot oleh Prof. Eddy. Menurutnya, pengumpulan barang bukti harus dilakukan secara transparan dan dapat diawasi oleh pihak-pihak terkait.

Selain itu, ia mengusulkan adanya dua jenis putusan tambahan di pengadilan, yakni:

1. Putusan pemaafan hakim, untuk kasus yang layak mendapatkan pertimbangan khusus.
2. Putusan tindakan, terkait dengan keadilan restoratif (restorative justice).

Namun, ia menekankan bahwa keputusan terkait restorative justice harus melalui proses penetapan hakim dan teregistrasi, baik oleh polisi, jaksa, maupun hakim.

Penegasan untuk Mahkamah Agung (MA)

Dalam pembahasan soal Mahkamah Agung (MA), Prof. Eddy menyampaikan kritik terhadap kemungkinan putusan MA yang lebih berat dibandingkan putusan pengadilan sebelumnya.

“Putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan sidang pembuktian sebelumnya, kecuali dalam kondisi tertentu,” tegasnya.

Ia juga menyoroti soal peninjauan kembali (PK), yang menurutnya harus diperketat. PK adalah upaya luar biasa, bukan sebagai “peradilan tingkat empat”.

“Proses pidana harus ada akhirnya,” ujarnya, mengingatkan pentingnya asas hukum pidana yang memberikan kepastian hukum.

Lapas Sebagai Rantai Terakhir Sistem Peradilan Pidana

Dalam penutupnya, Prof. Eddy menekankan peran lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai akhir dari rantai sistem peradilan pidana. Ia berharap reformasi RKUHAP dapat menguatkan peran lapas, sehingga tidak hanya menjadi tempat penahanan, tetapi juga berfungsi sebagai tempat pembinaan dan reintegrasi sosial.

Webinar ini memberikan pandangan mendalam tentang kebutuhan mendesak akan reformasi hukum acara pidana di Indonesia.

Dengan berbagai masukan dari para ahli seperti Prof. Eddy O.S. Hiariej, diharapkan RKUHAP yang baru mampu menghadirkan sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan akuntabel.