BeritaHeadlinesHukrimNasional

Dekan FH UMM Kritik Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP yang Berpotensi Timbulkan Ketidakjelasan

Avatar photo
×

Dekan FH UMM Kritik Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP yang Berpotensi Timbulkan Ketidakjelasan

Share this article

KOTA MALANG – Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Dr Tongat SH, MHum, memberikan kritik tajam terhadap beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Dalam pandangannya, sejumlah pasal dalam RUU KUHAP memiliki potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum, yang dikhawatirkan dapat mengganggu keselarasan dan harmoni dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrative criminal justice system).

Prof Tongat menyoroti beberapa pasal krusial, salah satunya adalah Pasal 12 ayat 11, yang mengatur bahwa masyarakat dapat langsung melaporkan suatu tindak pidana ke kejaksaan apabila laporan mereka ke kepolisian tidak mendapat tanggapan dalam waktu 14 hari.

Menurutnya, ketentuan ini dapat menimbulkan ketidakjelasan mekanisme pelaporan dan penyidikan tindak pidana dalam sistem peradilan pidana. Kewenangan masing-masing subsistem mutlak diperlukan untuk memastikan keselarasan dan keserasian dalam sistem peradilan pidana. Pasal 12 ayat 11 ini berpotensi merusak tatanan sistem peradilan pidana, karena dengan masyarakat bisa langsung melapor ke kejaksaan, mekanisme dan prosedur pelaporan tindak pidana berpotensi menjadi tidak jelas.

“Jika masyarakat dapat langsung melapor ke kejaksaan, mekanisme dan prosedur pelaporan tindak pidana menjadi tidak jelas dan bisa mengancam integrasi sistem peradilan pidana secara keseluruhan, oleh karena batas kewenangan antara kepolisian dan kewenangan kejaksaan menjadi tidak jelas,” ungkap Prof Tongat, (Sabtu, 25/1/2025).

Kejelasan distribusi kewenangan menjadi penting, agar masyarakat bisa memahami mekanismenya, untuk menghindari adanya potensi “korban struktural” baik bagi pelaku maupun korban.

Prof Tongat juga mempertanyakan mekanisme kontrol terhadap kewenangan jaksa jika ketentuan ini diberlakukan, siapa yang mengawasi proses penyidikan yang dilakukan jaksa, terutama dalam kasus tindak pidana umum?

“Jika jaksa diberi kewenangan untuk menerima laporan masyarakat dan menindaklanjutinya secara mandiri, maka siapa yang akan mengawasi proses penyidikan yang dilakukan jaksa, terutama dalam kasus tindak pidana umum? Ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang,” jelas Prof Tongat.

Selain Pasal 12 ayat 11, yang menjadi sorotan para akademisi dan pakar hukum adalah Pasal 111 ayat 2 yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh kepolisian.

Menurut Prof Tongat, kewenangan tersebut berpotensi bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum lain khususnya kepolisian dan lembaga praperadilan yang selama ini telah diatur secara baik dalam KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi.

“Pasal RUU KUHAP ini berpotensi menimbulkan benturan kewenangan antara kejaksaan dan hakim pemeriksa pendahuluan, yang sejatinya sudah diberi wewenang untuk memeriksa upaya paksa pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.

“Selain itu, ketentuan ini juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk ‘intervensi’ kewenangan kepolisian,” tambah Prof Tongat yang juga menjabat Ketua DPD Mahupiki Jawa Timur ini.

Setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan yang diatur dalam undang-undang. Kepolisian misalnya, batas kewenangannya telah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, dan untuk Kejaksaan dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 yang telah diubah melalui UU Nomor 11 Tahun 2021, serta pengadilan dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Namun, perubahan kewenangan kejaksaan yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 dinilai terlalu berlebihan dan tidak disertai pengawasan yang memadai.

Beberapa ketentuan seperti Pasal 8 ayat (5) yang memberikan hak imunitas kepada jaksa dan Pasal 35 huruf g yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, dinilai berbenturan dengan kewenangan kepolisian.

“Kewenangan yang tidak diatur dengan jelas dan tidak disinkronisasi dengan kewenangan lembaga penegak hukum lain akan menciptakan disharmoni antar lembaga penegak hukum. Ini tidak hanya mengganggu kerja sistem peradilan pidana secara keseluruhan, tetapi juga berisiko menempatkan masyarakat (baik pelaku maupun korban) menjadi ‘korban struktural’ .” jelas Prof Tongat.

Prof Tongat menekankan pentingnya sinkronisasi kewenangan antar lembaga penegak hukum untuk mencegah “perebutan kewenangan.”

Ia menyarankan agar pembahasan RUU KUHAP melibatkan secara intens lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

RUU KUHAP adalah pembaruan hukum acara pidana yang diharapkan dapat menyelaraskan pelaksanaan hukum materiil baru Indonesia dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.

“Namun, jika penyusunannya tidak melibatkan diskusi yang matang antar lembaga terkait, maka ketentuan baru justru dapat menjadi sumber permasalahan baru,” ujarnya.

Melalui pembahasan yang terpadu, diharapkan distribusi kewenangan antar lembaga penegak hukum dapat diatur dengan jelas, sehingga tidak ada lagi potensi benturan kewenangan yang menghambat penegakan hukum di Indonesia.

“RUU KUHAP adalah kesempatan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana kita. Namun, jika penyusunannya tidak dilakukan dengan cermat, maka kita hanya akan menciptakan permasalahan baru yang lebih kompleks,” pungkas Prof Tongat. (*)